IBS Blog Networking

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kisah Si Pandir yang (Ngaku) Modern

Islam Broadcasting System




Kisah Si Pandir yang (Ngaku) Modern



Saat ini pukul 18.00 WIB. Si Pandir sedang menyisir rambutnya sambil sesekali mengusapkan segumpal jeli untuk menjaga rambutnya tetap rapid an kaku. Sisirnya, yang memiliki celah sangat sempit, terbuat dari kulit penyu berwarna coklat gradasi yang tampak sudah ketinggalan jaman. Bibirnya terus monyong, mengeluarkan melodi lagu ngak-ngik-ngok hasil siulannya. Setelah selesai menyisir rambut, sekali lagi, masih di depan cermin “Majapahitan” berbingkai kayu jati ukiran, ia meneliti apakah pakaiannya sedah benar-benar rapi, baik bagian depan maupun sisi belakangnya. Tampaknya sudah beres. Ia sangat ganteng malam itu, paling tidak ini menurut penilaiannya sendiri!

Sambil sibuk mengenakan jas hitam kumuhnya, ia memungut dua undangan yang tersampir di atas meja bisnisnya, satu undangan dari “Para Eksekutif” di Hotel The Acacia sedang sisanya undangan “Malam Ulang Tahun Gadis Manja” di Hotel Kembang Melati. Kedua acara bergengsi itu digelar pada tanggal yang sama, dan waktu yang , sekali lagi, sama!

Keluh si Pandir, “jika saja Xerox tidak bikin computer mungkin mereka sudah menemukan mesin fotokopi manusia…” Dengan begitu, ia bisa dating di kedua pesta. Tapi, ia harus realistis. Ia harus memilih salah satu. Ia menyalakan kendaraannya, sebuah mobil keluaran tahun 60-an, berwarna hitam dan super rewel. Butuh waktu kira-kira 15 menit sampai mobil itu benar-benar ready. Padahal, di dalam undangan, tertera pukul 19.00 WIB, pesta sudah harus dimulai.

Saat pertama, ia sudah mengambil keputusan. Mobilnya meluncur ke Hotel The Acacia, agak jauh di bagian utara kota itu. Ia sendiri ada di tengah kota, jadi butuh puluhan menit perjalanan. “Hidangannya bergengsi”, begitu alas an ia memilih pesta “Para Eksekutif”. Yang ia maksud adalah, hidangan dengan brand McDonalds yang sudah kesohor dan menginternasional itu. Kalau ia makan burger, apalagi di situ ada McSate dan McChicken, pasti ia akan dinilai sebagai “pribadi yang berkelas!”

Tapi tunggu dulu!Mobilnya direm mendadak, tampaknya ada yang kurang beres!Benar bahwa McDonalds memiliki prestige yang kokoh. Tapi, ia tidak bakal kenyang makan masakan siap saji itu. Bukankah lauk pauk dan nasinya amat minimalis?Pikirnya.

Lalu, ia memutar mobilnya 180 derajat, pergi cepat-cepat kea rah selatan, tepatnya ke sebuah hotel bernama Kembang Melati untuk menghadiri acara “Malam Ulang Tahun Gadis Manja”. Lho kok bisa? Si Pandir berpikir dalam hati. Di sana hanya terhidang sate ayam yang dibeli dari warung tenda Cak Inur yang tidak ngerti “marketing” sampai-sampai warung ini berganti merek puluhan kali!Tapi, I pander menginterupsi pikirannya sendiri, hidangannya sangat melimpah. Ada ratusan tusuk sate siap saji di pesta itu. Jadi, ia bisa makan sepuasnya sampai kenyang dan ia tak perlu malu-malu mengambil sajian ekstra. Lagipula, rasanya tak kalah lezat dibanding McSate-nya McDonalds.

Ia sudah mendekati arah Selatan. Astaga!Ia berseru. Bukankah acara ini untuk para remaja? Tentu, minumannya memiliki target market para remaja juga? Berarti, di sana ia hanya disuguhi Pepsi dan The Botol! Minuman soft inilah yang cocok dengan profil mereka, bukan? Pikir Si Pandir. Wah kalau begitu tidak heboh donk!Itu artinya Si Pandir salah masuk pasar. Bagaimana dengan pesta di utara?Di sana ada Vodka dan Budweiser. Lebih ‘strong’ dan jantan! Ia kembali meluncur ke arah utara, tepatnya ke Hotel The Acacia. Agar tidak bosan dan tegang, sebab waktu sudah semakin mepet, ia menyetel musik keras-keras dari radionya. Lagu bernuansa “Mafioso” tampaknya menyegarkan!Sesekali ia melihat ke belakang, tapi untuk memastikan dandanan rambutnya tidak hancur.

Satu kilometer lagi menjelang Hotel The Acacia. Ia teringat bahwa ia masih jomblo (istilah gaul untuk cowok atau cewek yang belum punya pasangan). Mengapa ia tidak ambil kesempatan ke pesta “Malam Ulang Tahun Gadis Manja” saja? Di sana berseliweran cewek-cewek cantik, wangi, dan murah senyum. Meskipun ia bermodal tampang pas-pasan, pasti ada rasio keberhasilannya, mungkin 1:100. Artinya, di antara 100 orang pasti ada 1 cewek yang, paling tidak, mau diajak kenalan. Ia pun punya kesempatan untuk me-marketing dirinya sendiri!Ia pun banting stir menuju Hotel Kembang Melati.

Si Pandir tersenyum simpul. Pipinya yang berjerawatan merona merah, tampak seperti sebuah misil yang akan meluncurkan rudal-rudal “jerawat”. Ia mengambil perfume, menyemprotkan ke bagian-bagian tubuh tertentu. Pikirnya, ini untuk menggaet prospek! Sekali lagi, ia mengaca di depan kaca spion bagian tengah, memastikan tidak ada rambutnya yang ‘kabur’. Paling tidak, ada value added service jika seseorang cewek mau nge-date dengannya. Misalnya, makan gratis bubur ayam di lapangan Monas sambil mengabsen orang lewat!

Pukul 20.50 Wib

Ketika mobil semakin dekat dengan hotel Kembang Melati, tiba-tiba ia teringat bahwa gadis-gadis itu cukup matre. Kalau hanya modal mobil yang seharusnya sudah masuk museum, tentunya mereka bakal sewot. Apalagi kalau disuguhi lagu ala Andi Williams atau The Papa’s & The Mama’s? Wah! Pasti mereka bakal BT dan nggak banget!? Inikan sudah zaman milenia? Pikiran rasionalnya mendadak muncul. Harusnya, ia pergi ke pesta eksekutif di utara. Di situ berkumpul bos-bos besar. Paling tidak ia bisa kecipratan rezeki. Tapi, astaga! Ia tak sadar bahwa semenjak tadi ia hanya berputar-putar saja dan sekarang sudah pukul 20.50 Wib. Pesta 10 menit lagi bakal usai. Ia pun memutar mobilnya ke arah Hotel The Acacia sebab sebentar lagi akan ada doorprize yang hadiah utamanya berupa mobil BMW! Ia tancap gas, hampir 60 km/jam—untuk ukuran mobil nyentrik, kecepatan ini sudah realistis!

Sesampainya di lobi, ia bertanya ke front office yang ada di situ—di lantai berapa pestanya? Seorang wanita yang ada di situ menjawab ”pesta sudah usai”. Apa?!

Tak mau membuang waktu, ia langsung lari ke arah mobilnya dan pergi ke pesta muda-mudi. Tak apalah melewatkan hadiah BMW, yang penting ia bisa berkenalan dengan gadis cantik. Ia pun ngebut dan sering melanggar traffic light. Berkali-kali ia mendapat makian. Tapi ia nggak peduli.

Sayangnya begitu sampai di sana, para gadis itu sudah stand by di atas mobil. Cowok-cowoknya siap mengantar mereka pulang. Pesta juga sudah usai!

Si Pandir pun terduduk lemas, kedua pesta itu tidak ada satu pun yang ia hadiri. Semuanya tak menyisakan sesendok nasi pun—apa lagi secuil harapan (BMW atau kenalan dengan gadis-gadis modis).

Anda pernah dengar cerita di atas? Sebenarnya, cerita di atas saya adaptasi dari kisah cerita cilik tentang Si Pandir. Tentu, cerita legendaris ini tidak mengambil setting daerah perkotaan yang modern. Tapi pada intinya, kedua cerita itu sama saja, Si Pandir tidak dapat menikmati satu pesta pun karena ia tidak konsisten akan pilihannya!

Sebenarnya, cerita di atas tidak jauh-jauh dari pengalaman kebanyakan orang. Sebagai entrepreneur, kerap kali mereka masuk ke dalam situasi seperti di atas—TIDAK KONSISTEN!?

Contohnya begini. Seorang pengusaha mendirikan factory outlet di kota kelahiran. Segmennya jelas, yaitu menengah ke bawah sebab yang ia jual adalah sisa ekspor, alias baju-baju kualitas rendah. Sejalan dengan waktu, tokonya masih sepi-sepi saja. Kemudian, kira-kira tak jauh dari tempat itu, berdiri sebuah mall megah. Keduanya sama-sama bermain di bidang bisnis yang sama, yaitu fashion. Bedanya, mall itu bermain di segmen menengah ke atas. Otomatis, yang datang adalah orang-orang golongan high class.

Pengusaha itu mengamati waktu demi waktu. ”Sepertinya kok ramai”, pikir pengusaha ini. Ia pun merasa penasaran dan akhirnya masuk ke mall ini. Ia terkejut setengah mati! Harga baju-baju yang di jual di mall ini sangat tinggi, kira-kira 3 kali lipat harga baju yang di jual di outlet-nya. Padahal, menurutnya, bajunya tidak jauh berbeda, baik kualitas maupun modelnya.

”Kalau begitu, keuntungannya pasti besar sekali?”, kata si pengusaha ini dalam hati, ”lagi pula pengunjungnya cukup berlimpah!?”

Orang ini pun berpikir dalam hati. Kemudian, ia memutuskan untuk ikut mencicipi nikmatnya menggarap segmen pasar ini. Semua stock di outlet-nya di ganti dengan baju-baju mahal. Sekarang, ia menjual baju-baju berharga mahal. Namun masalahnya, apakah ia akan berhasil?

Belum tentu!? Ia mungkin tidak menyadari bahwa dengan benting stir, menggarap bidang usaha atau segmen lain justru semakin menjauhkan ia dari rezeki. Ada beberapa faktor lain yang kurang di pikirkan oleh orang-orang seperti itu. Pertama, menggarap segmen menengah ke atas dan segmen menengah ke bawah tentu berbeda. Salah satu perbedaannya, orang-orang menengah ke atas (kaya) cenderung demanding, alias rewel. Bagi mereka, harga bukan jadi masalah, yang penting puas!

Apakah pegawai-pegawai yang bekerja pada outlet itu sudah memahami hal ini? Jika customer service-nya asal-asalan seperti hanya menangani konsumen di pasar tradisional, para calon konsumen ”berkantong tebal” itu tidak hanya lari saja, tapi minggat! Artinya, mereka nggak mau balik ke situ lagi.

Selain itu, produk-produk yang dijual untuk kalangan atas haruslah ber-merek. Itu artinya, biaya pengadaan barang-barang itu menjadi mahal. Selebihnya, biaya akan keluar untuk merenovasi toko agar tampak eksklusif dan nyaman. Tentu, ini tidak murah!?

Kalau saja pengusaha itu tidak tertarik membanting stir 180 derajat, mungkin ia akan sukses. Ia tetap konsisten menggarap jalur segmen menengah ke bawah, yang meskipun margin keuntungannya terbatas namun operasionalnya cenderung lebih mudah.

Bisa saja kita menemukan seorang entrepreneur yang berpindah-pindah usaha dalam waktu singkat gara-gara ingin cepat sukses. Tahun ini buka toko eceran, besok buka restoran,. Tahun depan menggelar bisnis celullar, kali lain ia tertarik menjajaki bisnis MLM. Begitu setrusnya. Kalau ditanya, alasannya cenderun klise. Bisnis itu sedang trend, ramai, dan laris. Tapi, begitu ia masuk ke bisnis itu, ’rasanya’ mungkin lain. Bisa jadi ia gagal karena persaingannya sangat ketat dan ia tidak tahu bagaimana caranya bersaing. Dari sini, ia melompat ke bisnis lain. Kejadiannya mungkin sama saja, ia gagal di bisnisnya yang baru itu.

Kalau kita mengamati dari awal, tampak bahwa orang itu sedang berputar-putar saja, tidak bergerak sedikitpun, sama seperti Si Pandir yang suka berganti-ganti pikiran yang akhirnya tak membuahkan apa-apa selain rasa capek dan modal terkuras.

Ada pepatah yang berbunyi ”rumput tetangga selalu lebih hijau” sehingga kita tertarik untuk mencicipinya. Tapi, salah satu variabel untuk mencapai sukses dalam bidang bisnis adalah konsistensi agar tidak menjadi pandir modern!?

BEGITU JUGA KEHARUSAN BAGI SEORANG COMMERCIAL JOCKEY. KONSISTENSI HARUS TETAP TERJAGA, DAN JANGAN PERNAH KAYAK KUTU LONCAT!!!


Wassalam
Abi Dive

Tidak ada komentar:

Posting Komentar