IBS Blog Networking

Jumat, 16 Oktober 2009

Syari’at Islam Ditolak, DPR Malah Gelar Ruwatan

Islam Broadcasting System


Syari’at Islam Ditolak, DPR Malah Gelar Ruwatan


Sudah 61 tahun Indonesia merdeka, dengan menolak Syari’at Islam di lembaga negara. Kondisi negeri ini tidak semakin baik, malah berambah ruwet. Parahnya, para pembesar negara bukannya bertobat kepada Allah, justru melakukan dosa syirik, ruwatan di gedung DPR-MPR.

ENTAH mengapa, untuk perkara yang berkenaan dengan syirik respon gerakan Islam tidak sama bersemangatnya ketika mereka menyikapi pornogafi dan pornoaksi serta aksi brutal Israel terhadap bangsa Palestina dan Lebanon.

Padahal perilaku syirik lebih berbahaya bagai virus merusak aqidah, dan merupakan kedzaliman paling besar, perbuatan yang dimurkai Allah, dan dosa yang tidak terampuni, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni segala dosa selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ” (Qs. An-Nisa’ 48).

Apalagi, perilaku syirik yang terjadi belakangan ini, tidak hanya dilakukan oleh orang kafir saja, tetapi juga mereka yang selama ini dikenal jelas sebagai pemeluk agama Islam. Bahkan perilaku terkutuk ini dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi, status sosial tinggi, cendekiawan dan sebagainya.

Salah satu perilaku syirik yang kita kenal adalah ruwatan. Sepanjang orde baru, tradisi ruwatan sudah jarang dipraktekkan. Namun setelah reformasi bergulir, terutama setelah Gus Dur menjadi presiden, aktivitas syirik berupa ruwatan ini kembali marak. Bahkan Gus Dur sendiri sempat diruwat.

Tradisi Ruwatan merupakan kepercayaan sebagaian masyarakat Jawa penganut Sinkretis, berupa serangkaian upacara untuk membebaskan diri dari ancaman Bathara Kala, sosok raksasa buruk rupa pemakan manusia. Bathara Kala adalah anak dari Bathara Guru (anak para dewa). Konon, ketika Bathara Guru bercumbu di langit sambil menikmati terang bulan bersama permaisurinya, Bathari Uma. Namun, mereka gagal melanjutkan percumbuannya hingga bersanggama, sehingga sperma sang Bathara Guru berceceran di laut dan kemudian menjelma menjadi Bathara Kala.

Menurut kepercayaan, makanan Bathara Kala adalah manusia yang dilahirkan dalam kondisi tertentu, yaitu mereka yang menurut perhitungan klenik akan menderita (sukerta), juga mereka yang lahir dalam keadaan tunggal (ontang-anting), kembang sepasang (kembar), sendang apit pancuran (laki, perempuan, laki), uger-uger lawang (anak dua laki-laki semua) dan sebagainya.

Biasanya, dalam menggelar acara ruwatan juga disiapkan sejumlah sesaji, antara lain berupa kain tujuh warna, beras kuning, jarum kuning, dan bunga tujuh rupa, sebagai syarat utama untuk melaksanakan ruwatan


Pemahaman irasional ini, ternyata diinternalisasi oleh para pimpinan wakil rakyat Indonesia di DPR RI. Buktinya, mereka menggelar acara ruwatan yang momentumnya dipilih saat bangsa Indonesia merayakan hari kemerdakaan. Tradisi baru di lingkungan DPR era reformasi ini setidaknya sudah terjadi sejak tahun lalu, bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-60, Agustus 2005. Pimpinan DPR RI diruwat kala itu adalah Ketua DPR Agung Laksono (Partai Golkar), Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (PKB) dan Soetardjo Soerjogoeritno (PDIP), serta Sekjen DPR Faisal Djamal. Pada acara yang berlangsung sejak pukul sepuluh malam itu, yang bertindak sebagai dalang ruwatan adalah Ki Tristuti. Keempat pejabat negara yang berstatus wakil rakyat itu naik ke atas panggung untuk diruwat, bersamaan dengan itu kemenyan pun dibakar, asapnya menebarkan aroma magis ke seluruh pelosok ruangan. Sang dalang ruwatan mendoakan mereka dalam bahasa Jawa, agar selamat dari bahaya. Acara dilanjutkan dengan menggelar tontonan wayang semalam suntuk dengan dalang Ki Manteb Soedarsono dan lakon berjudul Wiratha Parwa, mengisahkan perjuangan Pandawa menegakkan kedaulatan negara Wiratha yang sedang dilanda krisis multidimensi.

Bagaimana dengan Perayaan HUT RI ke-61 tahun ini? Ternyata DPR kembali menggelar ruwatan nusantara, yang juga diramaikan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Acara ruwatan yang berlangsung hari Sabtu 26 Agustus 2006, bertempat di Lapangan Bola DPR, Senayan, Jakarta. Pagelaran wayang kulit mengambil lakon Rojo Molo (raja bencana) dengan dalang Ki Entuh Susmono. Lakon Rojo Molo dipilih, menurut ketua panitia Soetardjo Soerjogoeritno, karena banyak bencana terjadi di Indonesia akibat ulah dan keserakahan manusia. Lakon ini akan memiliki klimaks berupa pertarungan Rojo Molo dengan Jagal Bilawa. Jagal Bilawa sebagai tokoh protagonis akan menang di akhir cerita. Malam itu, Ketua DPR Agung Laksono tampil bersama wakil-wakilnya seperti Zainal Maarif, Muhaimin Iskandar, dan Soetardjo Soerjogoeritno. Menurut Agung acara ruwatan diadakan dalam upaya melestarikan budaya luhur bangsa, di tengah serbuan budaya asing.

Acara syirik ini berlangsung sepi, undangan pun banyak yang tidak datang. Pertanda, masih banyak rakyat yang waras, dan yang tidak waras adalah wakil rakyat.

Ruwatan di mana-mana

Bukan hanya para wakil rakyat yang memaksa ruwatan tampil menasional, tetapi juga para tokoh politik dan pendidikan. Pada tanggal 18 Agustus 2000, Jum’at malam, di Universitas Gajah Mada tepatnya di Balairung UGM dilakukan ruwatan bangsa, yang dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Rektor UGM Ichlasul Amal, dengan tontonan wayang kulit berlakon Murwokolo dan Sesaji Rojo Suryo oleh Dalang Ki Timbul Hadiprayitno.

KRH Darmodipuro, ahli perhitungan Jawa dan menjabat Kepala Museum Radya Pustaka, Solo, pada 13 Januari 2006 meruwat Presiden SBY secara in absentia. Alasannya, berbagai bencana yang terjadi di Tanah Air adalah karena aura buruk bawaan lahir sang presiden. Ruwatan berlangsung di gedung belakang museum tersebut, Jumat siang.

Menurut Darmo, SBY lahir pada Jum’at Kliwon 9 September 1949, masuk dalam wuku Bala. Wuku adalah semacam zodiak dimulai hari Minggu dan berakhir Sabtu. Wuku Bala memiliki sejumlah watak buruk yang berpengaruh pada kepribadian orang yang dilahirkan dalam pengaruh wuku tersebut. Sehingga, diperlukan medium untuk menghilangkannya yaitu melalui ruwatan.

Sejumlah wartawan di Jawa Tengah tidak mau ketinggalan menasionalkan tradisi syirik ruwatan. Pada hari Sabtu 7 Februari 2004 mereka yang tergabung dalam Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jateng menggelar upacara ruwatan pemilu di halaman Hotel Santika, jalan Ahmad Yani, Semarang, untuk menghilangkan sukerto atau penghalang Pemilu 2004. Acara ruwatan itu dimulai sekitar pukul 09.30 WIB, dihadiri oleh Wakil Gubernur Jateng Ali Mufid, Ketua Panwaslu Jateng Nur Hidayat Sardini, dan anggota KPU Jateng Ari Pradanawati.

Selain wartawan, para seniman juga tidak mau ketinggalan. Contohnya, terjadi di Semarang. Mereka menggelar ruwatan bumi sebagai bentuk solidaritas atas bencana gempa dan tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Ruwatan digelar di Taman KB, Jalan Menteri Supeno, Semarang, hari Rabu tanggal 29 Desember 2004.

Konstituen parpol Islam ternyata tidak anti ruwatan. Contohnya, acara tahlilan dan ruwatan nasional yang diserentakkan dengan Deklarasi Posko Relawan untuk Korban Gempa dan Tsunami, pernah digelar di Kantor DPP PKB (Partai Kebangkitan Bangsa, partai Islam yang menjadi kendaraan politik komunitas NU), jalan Kalibata Timur I nomor 12, Jakarta Selatan. Peristiwa yang terjadi Sabtu malam tanggal 1 Januari 2005, dihadiri anggota DPR-RI dari FKB, yakni Cecep Syarifuddin, Syaifullah Ma’shum dan Chairul Saleh Rasyid.

Tradisi syirik ruwatan juga dikemas sebagai bagian dari pariwisata dan dibiayai pemerintah. Peristiwa ini terjadi di Bojonegoro hari Minggu tanggal 5 Februari 2006. Ketika Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro menyelenggarakan ruwatan massal, banyak masyarakat yang mendaftarkan diri untuk menjadi peserta ruwatan. Mereka mengikuti ruwatan, karena ingin membersihkan diri dari kesialan dalam mengarungi hidupnya. Selain itu, menurut adat Jawa, ada beberapa orang yang dilahirkan ke dunia ini hanya membawa sengkolo (kesialan). Jika tidak diruwat, konon hidupnya akan selalu sengsara dan akan jadi santapan Betarakala. Acara ruwatan massal ini disaksikan para pejabat Pemkab Bojonegoro.

Acara ruwatan massal di Bojonegoro ini berlangsung setiap tahun, dan setiap tahun pesertanya selalu bertambah. Bahkan, tahun 2006 ini peserta ruwatan massal tidak hanya berasal dari Bojonegoro saja, melainkan ada yang datang dari Tuban, Lamongan, Surabaya dan Semarang, Jawa Tengah.

Anti Syariat

Salah satu Wakil Ketua DPR RI adalah Soetardjo Soerjogoeritno yang biasa dipanggil dengan sapaan mbah Tardjo. Disapa mbah karena memang usianya sudah tua. Meski tua, sayangnya belum juga mendapat hidayah. Dialah yang menjadi ketua panitia acara syirik ruwatan di DPR tahun 2005 dan 2006.

Kita tentu tidak lupa dengan sosok tua mbah Tardjo ini. Ketika 56 anggota DPR RI dari Fraksi PDS (beberapa diantaranya dari Fraksi PDIP) memprotes eksistensi perda bernuansa syariat Islam, Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno setelah menerima mereka langsung menyurati presiden tanpa melalui mekanisme rapat pimpinan atau Badan Musyawarah DPR, dan rapat paripurna DPR, serta tidak mengindahkan ketentuan dalam UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Soetardjo juga mengabaikan Tata Tertib DPR. Padahal, pimpinan DPR hanyalah juru bicara bagi lembaga tersebut.

Dari sini kita melihat betapa bersemangatnya mbah Tardjo menolak syariat Islam meski sekecil apapun juga. Sampai-sampai melanggar aturan pun dilakoninya. Padahal, sesuai dengan namanya, syariat Islam adalah untuk umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Fakta sejarah telah membuktikan, bahwa syariat Islam sudah lama eksis di kawasan nusantara ini jauh sebelum terbentuknya NKRI.

Aneh, sikap anti Syari’at Islam terus dipelihara, sementara pemerintah terutama DPR mengusung dan menjajakan ruwatan, tradisi irasional dan syirik. Ini jelas, prilaku dan carab pandang kampungan. Karena, ruwatan adalah urusan orang sekampung, sedangkan Syari’at Islam adalah urusan orang se Indonesia (nasional). Yang nasional ditolak tetapi yang sekampung dibesar-besarkan seolah-olah urusan nasional.

Ruwatan adalah tradisi masyarakat Jawa. Itu pun tidak seluruh orang Jawa mau menerima ruwatan sebagai bagian dari hidupnya. Artinya, kedudukan tradisi ruwatan hanyalah mengambil areal sedikit saja dari kawasan yang bernama bangsa Indonesia. Sebagai sebuah variabel, ruwatan adalah variabel minor bukan major. Tentu tidak masuk akal dan tidak adil bila yang sedikit dan minor ini dipaksa-paksa tampil di pentas nasional. Lebih parah lagi, ruwatan merupakan tradisi primitif, dan musyrik, yang tujuannya mencari perlindungan kepada selain Allah SWT. Jelas, berbahaya bagi kemurnian tauhid. Apalagi percaya bahwa kebaikan dan keburukan disebabkan Bathara Kala, sadar atau tidak, berarti menganggap ada Ilah selain Allah, ada pencipta atau kekuatan lain sehingga peristiwa yang terjadi dikait-kaitkan dengan selain-Nya.

Allah SWT berfirman: “Siapakah yang memperkenankan do’a orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan yang lain? Amat sedikitlah kamu mengingat-Nya. ” (Qs. An-Naml:62).

Hanya Allah yang dapat memberi manfaat dan mudharat kepada semua mekhluk-Nya. Meyakini ada kekuatan lain selain Allah yang memiliki kemampuan tersebut, itulah syirik, dosa yang tidak akan diampuni Allah SWT.

Dari berbagai contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku syirik masyarakat Indonesia, khususnya dalam bentuk ruwatan, tidak saja sekedar menggeliat seperti orang yang baru bangun dari tidur, tetapi sudah berlari kencang mengejar ketertinggalannya dari berbagai kemungkaran yang sudah lebih dulu eksis. Anehnya, lembaga Islam yang berkompeten koq diam saja?


Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 1 Th I Ramadhan 1427 H / September 2006, hal. 7-9.
Sumber : http://swaramuslim.com/hikayat/more.php?id=5356_0_14_0_M

1 komentar:

  1. Terus post kan berita2 bagus.... Semoga bermanfaat bagi kami pembaca. thanks..

    BalasHapus